![]() |
Blusukan Makam dan Skena Kalcer Baru: Ketika Kuburan Jadi Pusat Pengetahuan |
Wonosobo Media - Ketika blusukan dari makam ke makam akhirnya kita sebenarnya tidak sekadar berurusan dengan jenis nisan kijing yang berupa material.
Namun sebenarnya juga semakin mendalam dan meluar perihal kisah biografi baik segi manuskrip kuno.
Nah setelah membaca manuskrip yang telah diwariskan itu, juga meluas kembali tidak sekadar teks belaka namun bersambung ke identitas kebudayaan.
Dalam konteks ini sebuah makam ketika dibangun di dalam sebuah tatanan, yang tatanan itu memiliki otoritas dan otoritas ini menentukan bentuk bentuk hingga sejauh motif atau corak dari sebuah kebudayaan.
Sehingga ketika membaca sebuah kebudayaan katakanlah di Jawa sendiri bisa kita telisik melalui makam.
Nantinya ketemu selain dari membaca melalui manuskrip, prasasti, nisan, jirat dan model olah data apapun yang memberikan informasi lebih detail.
Tidak hanya itu saja, ketika membaca sebuah makam pun kita nantinya bisa bersinggungan dengan manuskrip dan vegetasi atau tumbuhan disekitar makam.
Kita bisa mengenali tumbuhan atau pohon pohon tua yang sebenarnya menjadi sebuah penanda sebuah makam.
Penanda dari pohon ini juga tidak hanya terkait sebagai penanda vegetatif juga jika dirunut ini menjadi sebuah tanda genealogi.
Ambil contoh, di antara penanda makam trah Sunan giri ada yang mengaitkan dengan pohon nagasari.
Selain itu misal menjadi tanda Diponegoronan ada sawo Kecik, atau tumbuhan kemuning. Hingga jika sampai di kelas lokal ada kayu Rangkah misalnya, buah mojo atau tanaman tua lainnya.
Meskipun hal ini belum menjadi sebuah kesimpulan, namun dari makam ke makam seperti memiliki titik temu yang menarik.
Tak heran jika ketika dulu blusukan sepi-ritualan ke kuburan ke punden masih dianggap klenik, kurang gaul namun sekarang kamdulillaah menjadi sebuah skena kalcer baru yang patut disyukuri sebagai penggalian pengetahuan.
Dulu banyak istilah yang dimunculkan seperti universitas kuburan hingga ada juga muktamar kuburan dan semakin kesini menyadari jika terlembaga atau memakai kotak kotak istilah akan terpaut pada data yang mentok karena keterbatasan label bukan ahli arkeolog, ahli sejarah lulusan lembaga atau sertifikasi tertentu.
Nah pendaran ilmu pengetahuan yang ada di lapangan sebegitu luas dan terkadang ada yang menarik dianggap absurd seperti perihal melipat jarak, pintu kemana saja doraemon, data material yang terbatas.
Sehingga perlu ditunjang dengan imajinasi dan diluar dari konsep teori baku, apalagi data yang ditemukan sekadar getok tular jarene.
Meskipun itu semua bisa juga dikaitkan dengan istilah konsep teori sekarang sebagai mbombong ati menjadi legawa.
Namun, paling tidak dari blusukan makam ke makam menjadikan titik pijak menemukan tempat singgah yang tenang gerilya bagi para pejalan suluk mekar. Anjay 😂