• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    Iklan

    Mengenal Lebih Jauh Padopokan Giri Saba Wonosobo

    , 05.52 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia

     




    SEMARANG - Beberapa waktu yang lalu saya menyempatkan untuk menemui,  jagongan dengan Mukhamad Khusni Mutoyyib, salah-satu pegiat Padopokan Giri Saba, sekaligus mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang asal Wonosobo. 

    Mengawali perbincangan dengan bercerita tentang pengalamannya kepada saya ketika explore, sembari mengamati kegiatan masyarakat Wonosobo. Lalu dilanjut olehnya yang menuturkan, bahwa Wonosobo ini tidak hanya dicap sebagai negeri di atas awan; ke-eksotisan alamnya yang masih sangat lestari, tetapi juga dunia literasinya yang sangat kental; salah-satunya seperti Padopokan Giri Saba (PGS) ini.

    Menurutnya, Padopokan Giri Saba yang dibuat tanpa adanya unsur kesengajaan ini berdiri sekitar tahun 2018. Berangkat dari teman-teman yang sering berkumpul,  jagongan bersama, yang di sisi lain juga memiliki kesamaan dalam hobi; blusukan ke desa-desa sekitar Wonosobo; entah ziaroh ke punden, makam, candi, mata air, dsb. 

    Ia menambahkan, bahwa Padopokan Giri Saba ini tidak hanya mengangkat dunia literasi saja, tetapi juga blusukan cagar budaya, serta belajar kebudayaan; dari seni, tradisi dan hasil olah rasa cipta karsa yang diturunkan oleh para leluhur, terutama kebudayaan yang ada di kota tempe kemul ini.  Ketika saya menanyakan makna yang terkandung dalam PGS ini, Kang Khusni menjelaskannya, bahwa Padopokan berarti tempat, wadah diskusi atau ngobrol, Giri artinya gunung, dan Saba ini merupakan identitas lain dari kata Wonosobo. 


    Di Makam Ki Ageng Wonosobo

    Seingatnya, ziarah ke makam Ki Ageng Wonosobo, salah satu leluhur di Wonosobo merupakan agenda pertama yang diadakan Padopokan Giri Saba. Ziarah tersebut juga bermaksud agar padopokan ini kecipratan berkahnya dan menggali keilmuan dari situs sekitar makam. Selain itu, Watu Gong pun pernah dikunjunginya, dengan diselingi diskusi kebudayaan Jawa. Kemudian, blusukan edisi kedua PGS tertuju pada Pasar Kumadang, salah satu destinasi pasar wisata di daerah Kertek Wonosobo dan belajar Aksara Jawa dan sengkalan.

    Pada edisi ketiga, yaitu melanjutkan belajar sengkalan, dan ziarah di Desa Pungangan, Mojotengah, Wonosobo, di makam pendiri desa tersebut. Yaitu Kiai Pungang, Kiai Tawisara, Kiai Pakem dengan konsep dan metode sesuai bidang beliau.

    Selain itu juga masih bersambung dengan episode-episode lainnya; masih istiqomah dolan ke desa-desa menggali cerita, potensi yang menarik di masyarakat kemudian dicatat sebagai bahan dokumentasi perjalanan. Tumbuhan atau tanaman yang sudah jarang ditemui saat ini tidak luput dari pengamatan komunitas berbasis paseduluran ini, karena dari salah satu kawan PGS memiliki manuskrip atau naskah kuno yang menjelaskan tentang tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai obat. 

    Menariknya tumbuhan atau tanaman itu banyak ditemukan dipelosok alas atau hutan bahkan di kuburan-kuburan desa, sebagaimana hipotesa dari PGS ini kuburan adalah museum yang masih bisa digali dan aman dari jajahan kolonial.

    *Marsa Ardannaufal Samuri 

    Mahasiswa IAT UIN Walisongo Semarang

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Yang Menarik

    +