• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    Iklan

    Kiai Sholeh Darat di Majelis Sorban Wali

    , 19.15 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia
    Harlah Majelis Sorban Wali
    Harlah ke-3 Majelis Sorban Wali


    Sebagaimana bertepatan dengan Sabtu malam Minggu, (26/2/2022) Majelis Masyarakat Sorban Wali memanjatkan rasa syukur atas terselenggaranya forum dengan menapaki tahun ketiga atas berlangsungnya majelisan. Bisa berkesempatan tabarukan adalah berkah tersendiri ketika mangayubagya sampai Lobang, Sangubanyu, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang.

    Saya merasa kagum dan bersyukur ketika mendengar cerita dan ungkapan dari para salikin yang sedang menapaki jalan suluk Sorban Wali tersebut disetiap forumnya selalu mengaji, mengkaji kitab dari Mbah Sholeh Darat Semarang, yang tersebar di beberapa suluk seputar Batang ini.

    Sebab merasa seperti nyambung dan dipikiran langsung terpantik ingin bertanya mengapa kitab Kiai Sholeh Darat? Sebagai penulis yang senang membaca, belajar dan bertahap ingin menyelami dari pemikiran beliau seakan satu frekuensi mendengar ada forum kajian dari karya Ulama Nusantara. Tidak hanya itu juga ketika saya tanya lebih dalam kepada salah satu jama'ah ada kajian kitab lain dengan meneruskan kitab yang pernah dikaji di majelisan sebelumnya. Disambung dengan diskusi tema apapun yang kontekstual menjawab zaman.

    Ada makam-makam yang seseorang selalu kangen untuk menyowaninya. Entah seminggu sekali, sebulan sekali, atau bahkan setiap hari. Kekangenan terjadi karena perjalanan batin seseorang itu ada dalam rangkaian, mirip, atau bahkan sama dengan suluk-perjalanan sang sahibul makam.

    Hal ini pun berlaku juga bagi orang-orang tertentu yang sangat gemar membaca karya-kitab atau mendengarkan manaqib wali tertentu. Sehingga berarti memang diperjalankan di suluk-jalan yang dahulu pernah ditempuh oleh sang wali atau ulama’ tersebut dalam penuh-seluruhnya.

    Ketika pertama kali mendengar atau membaca terkait dengan "Sorban Wali" yang teringat dipikiran atau terlintas yaitu cerita tentang Aji Saka. Dimana kita mengenal Aji Saka, yang memulai sebuah peradaban baru dari sebuah desa, yang digambarkan sebagai "tanah seluas sorban", kemudian waktu ditarik ternyata dapat menutupi tanah sepanjang sorban yang nyatanya luas.

    Mengenai hal semacam ini semoga Sorban Wali bisa panjang perjuangannya, tetap beristiqomah dalam meneruskan perjuangan para leluhur masa lalu, dari tahun pertama, kedua, ketiga hingga tahun-tahun berikutnya.  Berangkat dari masa lalu untuk masa depan,

    Karena diri yang kurang baik atau diri yang beruntung di masa depan adalah buah dari seberapa banyak biji kebaikan yang kita tanam saat ini. Seperti ungkapan “Annihayah arruju'u ilal bidayah”, puncak, tujuan atau tingkatan yang tinggi adalah kembali mengulang- merefleksi menuju permulaan. Sehingga kita tidak bakal lepas dari para pendahulu dan akan selalu nyambung menjadi sebuah kebulatan yang utuh.

    Pada milad ke-3 malam itu berlangsung gayeng-regeng, guyub rukun tandang gawe meski hujan turun gerimis ritmis menyertai ketika acara dimulai. Sholawatan, umbul dungo istighosahan dilangitkan. Sepatah dua patah kata sambutan dari shohibul bait disampaikan hingga disambung dengan acara diskusi atau sinau bareng merespon tema harlah malam itu dengan tajuk “Berjalan bertongkatkan adat bertindak beralaskan sejarah untuk menghadapi peradaban baru”.

    Beragam respon disinggung malam itu, berangkat dari cerita pengalaman yang ada di Wonosobo oleh teman-teman yang gemar blusukan ke makam, kuburan,candi atau situs cagar budaya. Misalnya ketika berziarah ke suatu desa Pungangan, di desa tersebut terdapat makam yang disepuhkan.

    Yaitu makam Kiai Pungang, Kiai Tawisara, dan Kiai Pakem. Beliau-beliau ini yang membabat desa Pungang yang masuk wilayah Kecamatan Mojotengah, Wonosobo dengan peran dan bidangnya masing-masing. Ada yang bertugas membuat infrastruktur, ada yang bagian pertanian-peternakan dan sebagainya yang intinya berkaitan dengan pemberdayaan desa atau tata pemerintahan. Serta ada bagian agamawan atau kiai yang mengayomi. Pola tiga tokoh yang disepuhkan ini juga terkait dengan desa disekitarnya. Jadi di masing-masing desa bakal memiliki tokoh yang disepuhkan dengan peran dan bidang yang sama, intinya kemaslahatan ummat.

    Nama desa adalah salah satu prasasti yang tidak bisa dijajah dan digerus oleh walanda sehingga ketika kita mengkaji nama desa dari segi toponimi tentu bakal nyambung dan memudahkan menggali sesuatu yang tertanam dan keilmuan pada sebuah nama desa. Pun nama-nama tokoh yang membabat atau yang disepuhkan juga memiliki makna juga, dan malah bisa terkait dengan ahwal atau tingkatan suluk dari sang tokoh tersebut entah trah, nasab dan sanad.

    Gayung bersambut saling melengkapi dan menanggapi pada kendu-kendu rasan miladiyah Sorban Wali kali itu, ada yang bercerita tentang keilmuan pertanian terutama yang diwariskan oleh para leluhur dahulu. Dari segi cara menanam sampai panen dan cara menyikapi hama tanaman. Salah satu jamaah Majelis Sorban Wali, Mas Catur yang telah tandang dan melakukan keilmuan pertanian ini. sudah terbiasa membuat ramuan obat herbal maupun pupuk untuk tanaman agar tatanan tanah bisa kembali seperti semula tidak rusak digerus pupuk kimia.

    Lain lagi dengan pembahasan yang semakin malam tambah menarik, namun karena waktu yang terbatas majelisan harus diselesaikan. Dipungkasi dengan doa dan pemotongan tumpeng tanda malam itu rasa syukur dipanjatkan atas tiga tahun melingkar ngaji bareng. Sebelum dipungkasi ada penyerahan secara simbolik pusaka keris dan launching buku yang ditulis dulur-dulur Sorban Wali terkait dengan sejarah Batang, semoga bakal menjadi salah satu rujukan dalam menyusun rencana pembangunan di Batang itu sendiri.

    Mabruk untuk Suluk Sorban Wali! Matur nuwun.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Yang Menarik

    +