![]() |
Ilustrasi: Salah satu pengamal doa doa yang masih lestari hingga saat ini. |
Wonosobo Media - Di tengah derasnya arus opini publik, istilah yapping kerap muncul sebagai label bagi mereka yang dianggap terlalu banyak bicara.
Perihal ini kerap dijadikan label terutama ketika pandangannya tak sejalan dengan mayoritas. Tapi benarkah banyak bicara selalu berarti kosong makna?
Sebagaimana diketahui "Yapping" dalam bahasa Inggris memiliki arti berbicara terus-menerus.
Seringkali dengan nada tinggi dan mengganggu, atau berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang dianggap tidak penting.
Istilah ini juga bisa diartikan sebagai berceloteh atau mengoceh terus-menerus.
Lantas, bagaimana posisi mereka yang justru mendalami ajaran spiritual dengan ketenangan dan doa, tanpa perlu banyak koar?
Apa Itu Budaya Yapping?
Dalam pergaulan sosial, terutama di lingkungan yang sensitif dengan status dan otoritas, istilah yapping sering digunakan untuk meremehkan seseorang. Istilah ini berkembang menjadi semacam stigma sosial.
Ketika seseorang berani berbicara berbeda atau terlalu sering menyuarakan pendapat, ia bisa saja dilabeli “yapping”—banyak omong, tapi tak dianggap penting.
Dua Sisi Koin: Antara Yapping dan Karisma Tokoh
Menariknya, seseorang yang dianggap yapping bisa saja berubah status jika publik mulai menyukainya.
Ucapan yang dulu dianggap angin lalu, kini justru dirayakan, meski substansinya tak banyak berubah. Di sinilah kita bisa melihat, bagaimana persepsi kadang lebih kuat daripada isi.
Kembali di topik awal tadi, seseorang tokoh yang kita sukai dan kita selalu mengikuti akan senantiasa diamini.
Sedangkan tokoh yang tidak sesuai dengan isi hati kita bakal dianggap angin lewat saja, dan ini lumrah pada cara pandang diri kita.
Menengok Ajaran Para Pengamal Kanjeng Nabi
Berbeda dengan label yapping yang mengacu pada ekspresi lisan, pengamal ajaran Kanjeng Nabi justru meniti jalan spiritual melalui keheningan dan kekhusyukan.
Dalam hal ini penulis merujuk sebuah club atau komunitas yang masih terjaga mengamalkan wirid atau doa doa yang bersambung dari gurunya hingga sampai ke Kanjeng Nabi.
Mereka mengamalkan doa-doa turun-temurun dari guru ke guru, yang dipercaya tersambung sanadnya hingga kepada Rasulullah.
Tanpa banyak bicara, mereka memilih untuk menyuarakan keyakinan lewat amalan.
Meski hingga sampai pada seorang tokoh yang dianggap menjadi pengganti atau istilahnya badal katakanlah, meski hanya sekadar kurir tentunya kita khusnudzon itu masih nyambung.
Maksud kurir sendiri yaitu hanya sekadar mengantarkan sebuah amalan yang diperoleh dari tokoh yang dianggap masih nyambung sampai ke Kanjeng Nabi, kewenangan untuk meneruskan boleh jadi terputus (atau istilahnya Mursyid) ini sebelum diwariskan tongkat estafetnya.
Kecuali memang pernah ada prosesi saling melantik untuk meneruskan sebuah lelaku hingga amalan tersebut.
(Tentu perihal ini perlu diulas di tulisan berikutnya agar lebih detail, kalau pada tulisan ini nanti menjadi kurang fokus).
Refleksi Sosial: Apakah Kita Menilai dari Suara atau Substansi?
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah kita menilai seseorang dari isi pikirannya, atau dari seberapa populer ia di telinga kita?
Melalui budaya yapping, suara keras sering dibungkam, tapi dalam ajaran spiritual, justru ketenangan yang berbicara lebih dalam.
Pada era digital yang penuh noise, mungkin kita perlu menakar ulang bagaimana cara kita mendengar dan menilai.
Apakah kita masih bisa mengenali kebenaran dalam kesunyian, atau hanya merayakan mereka yang paling nyaring?
Nah antara yapping dan ketenangan, bisa jadi keduanya punya ruang masing-masing dalam membangun peradaban.***