• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    news google

    Iklan

    Makam Wali Ada Banyak, Kok Bisa?

    , 22.12 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia
    Makam Sunan Bayat
    Makam Sunan Bayat di Wonosobo.


    Wonosobo Media - Dalam khazanah tasawuf Jawa menyebut pertemuan seseorang dengan dirinya yang sudah dimakamkan adalah dengan nama : tunggak semi. 


    Meskipun istilah tunggak semi juga sama pada primbon pritungan weton hari yang artinya mudah mendapatkan keberuntungan. 


    Seringkali kita menemukan makam para waliyullah atau tokoh pendahulu dengan kesamaan asma atau nama, sebenarnya seperti itu adalah makam yang berbeda-berbeda tetapi dengan nama yang sama. 


    Dalam arti bentuk nama yang dimaksud sebagai wujud tafa’ulan nama atau ngalap berkah dengan nama pendahulunya. Entah memang masih nyambung dari jalur nasab maupun sanad, trah keilmuan.


    Atau pula itu memang satu orang dengan makam yang banyak, sebagaimana candaan para peziarah bahwa ciri seorang wali yaitu ditandai dengan makamnya yang banyak dan tersebar dimana-mana.


    Maka dari itu jika kita mengambil bahasa dari penulis buku Nisan Hanyakrakusuman membacanya harus pakai nalar kiblat papat. 


    Jadi kalau di bagian timur ada makam Maulana Maghribi, maka makam dengan nama yang sama pasti ada di barat. 


    Begitu juga kalau ada makam Sunan Pandanaran misalnya di selatan maka di utara juga pasti ada. Kalau mengambil contoh di Wonosobo pun juga ada, misalnya Kiai Walik dengan macam versi cerita.


    Kalau di selatan ada, tetapi di utara tidak ada itu bukan berarti tidak ada, bisa dan seringkali yang di utara itu memakai nama yang berbeda.


    Namun makna nama itu sama dengan nama yang diselatan, kata orang Barat namanya sinonim, atau dasanama kata orang Jawa semakin banyak "makam" seorang tokoh, semakin bertalian dengan sejarah tokoh tersebut didalam sejarah dan kebudayaan masyarakatnya.


    Makam, pasarean, kijing, nisan, kuburan mengajarkan penulis untuk menghentikan diri dari pendengaran riwayat-riwayat ganjil itu.


    Bagaimana mungkin saya bersimpuh merapalkan kalimat-kalimat suci di depan maqbaroh seorang ulama penempuh jalan suci atau suluk namun beliau penulis menganggap atau menge-cap sebagai ‘hitam’ berdasarkan pengetahuan sejarah tentangnya yang penulis didengar ke telinga oleh bangku sekolah?


     Seorang tokoh dianggap hitam karena memang penghitaman itu diciptakan diwacanakan dan terus menerus dilestarikan lewat pengajaran sejarah.


    Kembali mengenai nama, lebih penting kita dengan mengingat dan menjaga nisan dan kijingnya, sebab dari sini berlimpah pentujuk yang dapat digali.


     Kita bisa menyelami dari segi geneologi maupun epistemologi atau sanad kelimuan ketika memandang banyaknya kesamaan nama makam yang tersebar tinggal kita klasifikasikan dan analisa yang dipindai dari nisan, kijing dan sebagainya.


    Pemilik sanad keilmuan beserta trah nasab katakanlah Demak, Majapahitan, sampai Diponegaran, misalnya nantinya akan dimakamkan dengan nisan sebagaimana corak nisan pepundennya atau leluhurnya, jika tidak maka ada tanda lain. 


    Namun ternyata nisan atau tetenger tadi menghilang bisa ditempuh dengan beberapa langkah.


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    iklan mgid

    Yang Menarik

    +