![]() |
| Nazam Tarekat: Ketika Jalan Spiritual Menjadi Jalan Perlawanan |
Wonosobo Media - Nama Kiai Ahmad ar-Rifai Kalisalak (1786—1870 M) mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh perlawanan bersenjata dalam buku sejarah resmi.
Namun di balik sunyinya pesantren dan bait-bait nazam yang ia tulis, tersimpan api perlawanan yang tak kalah menyala. Ia bukan hanya ulama produktif, melainkan juga penulis yang menjadikan kata-kata sebagai senjata.
Sepanjang hidupnya, Kiai Ahmad ar-Rifai menulis puluhan kitab keagamaan yang mencakup tiga pilar utama Islam tradisional: akidah, syariat, dan tasawuf.
Meski sempat lama menimba ilmu di Tanah Arab, ia memilih menulis hampir seluruh karyanya dalam bahasa Jawa, menggunakan aksara Pegon. Kitab-kitab semacam ini dikenal sebagai kitab tarajjumah, teks keagamaan yang sekaligus menjadi jembatan antara ilmu Islam dan realitas sosial Jawa.
Di antara sekian banyak karya tersebut, nazam Tarekat menempati posisi yang istimewa. Kitab ini bukan sekadar tuntunan spiritual sebagaimana lazimnya teks tentang tarekat. Di dalamnya, ajaran laku batin berpadu dengan kritik sosial yang tajam, bahkan terang-terangan melawan kekuasaan pada zamannya.
Nazam Tarekat tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh dalam situasi Jawa abad ke-19 yang berada di bawah cengkeraman kolonialisme.
Dalam teks ini, tarekat tidak dipahami semata sebagai jalan menyepi dari dunia, melainkan justru sebagai fondasi etika untuk bersikap tegas terhadap ketidakadilan. Bagi Kiai Ahmad ar-Rifai, kesalehan yang bersekutu dengan kekuasaan zalim adalah kesalehan yang cacat.
Jejak fisik nazam Tarekat sendiri tersebar di beberapa tempat. Setidaknya terdapat empat naskah yang diketahui memuat teks ini. Satu tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, satu di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Serta satu lagi dimiliki oleh Razaqun, jamaah Rifa’iyyah di Pekalongan yang juga dikenal sebagai penjilid dan penjual naskah kitab tarajjumah dan satu naskah berada di tangan KH. Amin Ridho, tokoh Rifa’iyyah di Krasak, Mojotengah, Wonosobo.
Dari keempat naskah tersebut, salinan koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode KBG 616-h dinilai paling dapat dipertanggungjawabkan. Naskah ini selesai disalin pada 4 Jumadil Awal 1285 H atau bertepatan dengan 25 Juli 1868.
Penyalinnya adalah Hasan Dimeja, murid langsung Kiai Ahmad ar-Rifai, dan teksnya telah melalui proses koreksi dengan merujuk pada naskah asli sang pengarang. Dibandingkan naskah lain, tingkat penyimpangannya pun paling kecil.
Atas dasar itulah naskah KBG 616-h dipilih sebagai pijakan utama dalam penyusunan edisi teks dan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Pilihan ini bukan semata soal teknis filologi, melainkan juga upaya agar pesan dalam nazam Tarekat dapat dibaca dan dipahami lebih luas oleh masyarakat masa kini.
Sebagai karya sastra pesantren, nazam Tarekat memikul fungsi sosial yang jelas. Ia mengajarkan sikap menjaga jarak dari kekuasaan, sekaligus mendorong perlawanan moral terhadap penguasa yang zalim.
Sasaran kritik Kiai Ahmad ar-Rifai bukan hanya kolonial Belanda, tetapi juga elite lokal kaum priyayi dan penghulu yang bersedia bekerja sama dengan kekuasaan kafir dan menanggalkan nilai keadilan.
Dalam pandangannya, kolaborasi semacam itu bukan sekadar kesalahan politik, melainkan pengkhianatan spiritual. Tarekat yang sejati, menurut Kiai Ahmad ar-Rifai, harus melahirkan keberanian bersikap, bukan kepatuhan membuta.
Karena itu, nazam Tarekat tampil sebagai teks yang “mengganggu” tatanan sosial kolonial, sekaligus menjadi bukti bahwa perlawanan tidak selalu berwujud senjata kadang ia hadir dalam bait-bait puisi yang dibaca diam-diam di serambi pesantren.

