![]() |
Ilustrasi: Mbah Muntaha Alhafidz sedang berdoa. |
Wonosobo Media – Kalau Anda pernah berkunjung ke Kalibeber, ada satu nama yang tak bisa tidak disebut: KH. Muntaha Al-Hafidz, atau yang akrab disapa Mbah Mun.
Sosok ulama kharismatik yang tak hanya dikenal karena ilmunya yang dalam, tetapi juga karena laku hidupnya yang welas asih, santun, dan gemati kepada siapa saja.
Mbah Muntaha Alhafidz mengayomi dan menampung siapa saja, tanpa pandang umur, status sosial, atau warna sarung.
Kisah tentang Mbah Muntaha bukan hanya soal ceramah yang panjang, atau doa-doa yang syahdu, tapi tentang hal-hal yang sangat manusiawi.
Memotivasi santri, menyenangkan tamu, sampai memberi resep awet muda yang nggak ditemukan di klinik kecantikan mana pun.
Setor Hafalan Sebelum Khitan: Motivasi Level Simbah
KH. Abdurrahman Asy’ari, salah satu cucu Mbah Mun, pernah bercerita tentang bagaimana sang kakeknya ketika memotivasi santrinya.
Termasuk dirinya sendiri. Bukan dengan ancaman, bukan pula dengan “kalau nggak hafal, tidak naik kelas.” Tapi... disuruh setor hafalan sebelum khitanan.
Bayangkan. Di saat anak-anak lain takut jarum suntik, beliau malah menyodorkan Surat Ad-Dhuha buat dihafal.
“Jadi dari Surat Ad-Dhuha sampai selesai, dengan purutan yang ditentukan simbah,” cerita KH. Abdurrahman.
“Selesai hafalan, disuruh ngaji Fasholatan juga bareng beliau.” imbuhnya.
Menariknya lagi, saat ada tamu sowan ke rumah Mbah Mun, dan KH. Abdurrahman sedang ngaji, simbah justru memujinya di depan tamu — mbombong, kata orang Jawa bilang.
Sebuah bentuk motivasi diam-diam yang efeknya kadang lebih ampuh dari kata-kata keras.
Tiga Resep Hidup Panjang dan Waras ala Mbah Mun
Suatu ketika saat ke luar negeri, Mbah Mun ditanya tim medis di sana: “Apa rahasia panjang umur dan tubuh tetap bugar?”
Jawabannya sederhana, dan terdengar lebih spiritual ketimbang medis:
Rajin baca Al-Qur’an
Rajin olahraga (baca: salat sunnah)
Suka menolong orang lain
Tiga hal ini beliau jalani bukan karena sedang ikut challenge gaya hidup sehat, tapi memang jadi wirid harian.
Menurut beliau, salat sunnah itu ya olahraga terbaik, karena gerakannya bikin tubuh hangat dan darah ngalir lancar.
Sementara menolong orang lain, bagi Mbah Mun, adalah bentuk ibadah yang langsung menyentuh hati. Bukan hanya berpahala, tapi juga membuat hidup terasa lapang.
Jadi Kiai Jangan Minta, Tapi Memberi
Salah satu wejangan yang membekas dari beliau adalah soal keikhlasan dan tanggung jawab moral seorang kiai.
“Jangan jadi kiai yang meminta ke santri. Kalau bisa, ya memberi.”
Bukan sekadar kata-kata manis. Mbah Mun benar-benar menerapkannya. Beliau berpikir keras bukan hanya untuk kemaslahatan pesantren, tapi juga warga Kalibeber secara umum, termasuk soal ekonomi.
Maka jangan heran, kawasan pondok PP Al-Asyariyah Kalibeber justru membaur hangat dengan masyarakat.
Tidak ada sekat, tidak ada kasta. Pondok dan warga hidup berdampingan, saling bantu, saling nyengkuyung.
Ngaji Sampai Sepuh, Nggak Ada Cerita Pensiun dari Ilmu
Mbah Mun juga memberi teladan bahwa mencari ilmu itu tidak mengenal usia. Bahkan saat beliau sudah sepuh, masih nyantri kepada Kiai Khozin Choms untuk mbalah kitab kuning.
Hal ini membuktikan bahwa ilmunya memang dalam, tapi tawaduknya lebih dalam lagi.
Yang paling dikenang dari sosok Mbah Mun adalah kerendahan hati. Beliau tidak membeda-bedakan siapa pun: dari golongan mana, organisasi apa, ras apa, atau dari suku mana pun.
Semua manusia, bagi beliau, sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanyalah taqwa, bukan tampilan, jabatan, atau background.
Dan dari lisan yang penuh hikmah itu, lahir pesan yang layak kita warisi:
“Hendaknya kita semua memiliki sifat ikhlas. Ikhlas dalam beramal, ikhlas dalam mengajar, dan ikhlas ketika membantu sesama, baik bantuan materi maupun bukan. Karena Allah mencintai orang-orang yang ikhlas.”
Penutup: Warisan Paling Abadi Adalah Laku Hidup
Di zaman yang serba cepat dan penuh polesan, kisah hidup KH. Muntaha Al-Hafidz terasa seperti oase.
Sebuah pengingat bahwa keilmuan tanpa keikhlasan adalah hampa, dan kebaikan kecil yang dilakukan terus-menerus bisa menjadi warisan yang jauh lebih agung daripada bangunan megah.
Mbah Mun tidak banyak bicara soal kebesaran, tapi semua orang tahu, beliau besar karena sikapnya yang merendah. Wallahu a'lam bisshowab. Linnabi wa li Mbah Muntaha Alhafidz alfatihah.***