![]() |
Prosesi pengambilan air di Tuk enam titik dalam rangkaian hari jadi Kabupaten Wonosobo ke 200 tahun. (FB/Yoga Hwrimurti). |
Wonosobo Media - Wonosobo kota pegunungan yang sejuk dan penuh cerita ini, sedang menuju usia yang tak bisa dibilang muda: 200 tahun.
Bukan cuma angka, tapi umur yang menyimpan jejak sejarah, budaya, dan doa-doa panjang dari para leluhur yang dulu mungkin lebih sering nyepuh ketimbang bikin konten.
Nah, untuk merayakan momentum dua abad ini, masyarakat Wonosobo nggak cuma bikin karnaval atau konser dangdut.
Terdapat prosesi yang sakral dan menarik dengan memilih jalur yang lebih kontemplatif dan sarat makna: prosesi pengambilan air suci dari enam mata air sakral.
Sebuah laku budaya yang lebih mirip meditasi massal ketimbang sekadar seremoni.
Dilansir dari akun resmi Instagram @disparbudwonosobo, kegiatan ini dijadwalkan digelar pada Kamis, 17 Juli 2025 mendatang.
Pada hari itu, air suci akan diambil dari enam tuk sebutan lokal untuk mata air yang tersebar di berbagai penjuru Wonosobo.
Nama-nama tuk yang terlibat pun bukan nama sembarangan:
Tuk Bimo Lukar, Tuk Gua Sumur, Tuk Mudal, Tuk Surodilogo, Tuk Kaliasem, dan Tuk Tempurung.
Masing-masing tempat menyimpan cerita, aroma mistik, dan kedalaman nilai spiritual yang sulit digambarkan dengan kata-kata, kecuali dengan ketundukan.
Prosesi ini bukan ritual instastory-an. Ini laku budaya. Air dari keenam sumber tadi akan disatukan, bukan sekadar dikumpulkan.
Tapi disatukan sebagai lambang kesucian, harapan, dan tekad bersama.
Sebuah simbolik indah yang menggambarkan bagaimana manusia, alam, dan budaya bisa saling menyatu. Atau dalam bahasa anak sekarang: nyambung roso.
Menariknya, kegiatan ini juga jadi semacam refleksi kolektif: bahwa di tengah modernitas, kita masih butuh cara untuk mengingat siapa diri kita sebenarnya.
Bahwa merawat mata air adalah juga merawat nilai-nilai.
Karena sumber daya alam bukan cuma untuk dieksploitasi, tapi untuk disyukuri dan dijaga bareng-bareng.
Pemerintah Kabupaten Wonosobo tampaknya paham betul: bahwa usia dua abad bukan cuma layak dirayakan dengan pesta.
Tetapi juga dengan kesadaran bahwa daerah ini berdiri karena daya tahan budaya dan peradaban.
Lewat prosesi ini, kita diingatkan, bahwa Wonosobo bukan cuma soal dinginnya udara dan ramainya Dieng.
Tetapi juga tentang bagaimana masyarakatnya terus menjaga tali spiritual dengan alam dan leluhur.
Jadi kalau jika kebetulan ada di Wonosobo saat prosesi berlangsung, sempatkan hadir.
Bukan sekadar konten, tapi juga sekaligus untuk ngalap berkah. Sebab di antara suara gamelan, tembang, kidung dan alunan doa, ada yang tak kasat mata yang sedang disambung: roso, roso, lan roso.
Selain itu juga hati yang tulus dan ikhlas mentirakati dan berdoa kepada Tuhan agar senantiasa diberi guyub rukun dan gemah Ripah Kabupaten Wonosobo tentunya.***