![]() |
Sagon Wonosobo: Gurih Tradisi di Ujung Kawah Sikidang |
Wonosobo Media - Udara dingin Dieng memang selalu menggoda siapa pun untuk mencari yang hangat dan manis.
Terdapat di pintu keluar wisata Kawah Sikidang, aroma kelapa sangrai dan gula yang berpadu harum seolah memanggil langkah wisatawan.
Di sanalah, deretan pedagang sagon berjajar rapi, salah satunya milik Madin, penjual sagon legendaris yang sudah bertahun-tahun menjaga cita rasa tradisi ini.
“Kalau libur panjang kayak gini, bisa habis 25 kelapa tiap hari. Itu kira-kira 200-an sagon,” ujar Madin sambil tersenyum, tangannya masih sibuk membolak-balik sagon di atas wajan datar.
Musim libur memang jadi berkah tersendiri baginya. Ribuan wisatawan yang datang ke Dieng hampir selalu menyempatkan diri mencicipi sagon Wonosobo, cemilan sederhana yang rasanya bisa bikin rindu pulang.
Sagon yang Tak Lekang Waktu
Sagon Wonosobo dibuat dari bahan yang sangat sederhana: parutan kelapa, tepung ketan, dan gula pasir.
Tapi di tangan terampil para penjual seperti Madin, bahan sederhana itu menjelma jadi camilan yang gurih, renyah di luar, dan lembut manis di dalam.
Harga satu buahnya hanya Rp5.000, murah, tapi nilai tradisinya tak ternilai.
Kini, sagon punya berbagai varian topping: meses, strawberry, blueberry, hingga cokelat. Namun, Madin mengaku pembeli tetap lebih banyak yang mencari rasa original.
“Yang rasa-rasa juga ada, tapi jarang yang beli. Orang ke sini kan mau makan makanan tradisional, ya pilih yang asli biar terasa Wonosobonya,” tuturnya.
Rahasia di Parutan Kelapa Tangan
Sagon ini tampak istimewa diracik khas oleh Madin, bukan hanya resepnya, tapi juga cara buatnya.
Ia masih setia memarut kelapa dengan tangan, tanpa mesin sama sekali.
“Saya parut pakai tangan biar lebih awet, bisa tahan sampai tiga hari tanpa basi. Kalau pakai mesin, rasanya kurang gurih, dan cepat bau tengik,” jelasnya.
Dari sinilah sagon Wonosobo mempertahankan keasliannya, bukan cuma soal rasa, tapi juga ruh tradisinya.
Oleh-oleh dari Uap Belerang dan Cinta Tradisi
Di sepanjang jalan keluar Kawah Sikidang, pengunjung bisa menemukan berbagai kuliner khas lain: tempe kemul hangat, kentang goreng, hingga carica dan jamu botolan.
Tapi, di antara semua itu, sagon tetap punya tempat spesial di hati wisatawan. Barangkali karena setiap gigitannya membawa rasa masa lalu, manis, gurih, dan sedikit nostalgia.
Madin, seperti halnya para penjual lain di kawasan itu, bukan sekadar berjualan makanan. Ia tengah merawat warisan rasa dan tradisi yang perlahan mulai dilupakan.
Di tengah uap belerang dan dinginnya angin Dieng, sagon Wonosobo hadir sebagai pengingat: bahwa cita rasa sejati tak perlu kemasan mewah, cukup keikhlasan dan tangan yang sabar menjaga warisan leluhur.