![]() |
| Ilustrasi: Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan nasional. |
Wonosobo Media - Kalau hari Pendidikan Nasional tiba, nama satu ini pasti kembali disebut dengan penuh hormat: Ki Hadjar Dewantara, atau nama lahirnya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.
Beliau bukan sekadar tokoh sejarah yang wajahnya terpampang di buku pelajaran, tapi sosok yang benar-benar menanamkan akar bagi lahirnya pendidikan yang merdeka pendidikan yang memanusiakan manusia.
Dari Bangsawan Jadi Pembela Kaum Jelata
Lahir dari keluarga bangsawan Yogyakarta, Ki Hadjar justru memilih jalan yang berseberangan dengan kenyamanan kaum priyayi.
Ia menolak sistem kolonial yang hanya memberi kesempatan belajar bagi kalangan atas dan Eropa.
Lewat Perguruan Taman Siswa yang didirikannya pada 3 Juli 1922, beliau membuka pintu pendidikan untuk rakyat biasa.
Taman Siswa bukan sekadar sekolah, tapi taman gagasan, tempat di mana anak-anak pribumi belajar dengan bebas, berpikir kritis, dan tumbuh dengan akar budayanya sendiri.
Karena perjuangan besar itulah, Ki Hadjar Dewantara dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Namanya selalu kita kenang setiap 2 Mei, tanggal kelahirannya, yang kini menjadi Hari Pendidikan Nasional.
Trilogi Kepemimpinan: Warisan yang Tak Pernah Kedaluwarsa
Salah satu warisan paling berharga dari Ki Hadjar adalah ajaran kepemimpinan yang dikenal sebagai Trilogi Ki Hadjar Dewantara:
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”
Ajaran ini bukan sekadar semboyan yang sering terpajang di ruang guru atau di halaman depan sekolah.
Lebih dari itu, hal ini menjadi falsafah hidup yang relevan di segala zaman dari ruang kelas, kantor, hingga komunitas kecil sekalipun.
Ing Ngarso Sung Tuladha – Di Depan Memberi Teladan
Seorang pemimpin, kata Ki Hadjar, harus menjadi contoh, bukan hanya memberi contoh.
Ia tidak sekadar bicara soal idealisme, tapi juga soal praktik nyata, bagaimana seorang pemimpin berani mengambil tanggung jawab, disiplin, dan berperilaku jujur agar bisa ditiru oleh orang-orang di sekitarnya.
Dalam konteks sekarang, ajaran ini terasa makin penting di tengah banyaknya “pemimpin” yang pandai berbicara, tapi miskin teladan.
Ing Madya Mangun Karsa – Di Tengah Membangun Semangat
Menjadi pemimpin tak selalu berarti berada di atas.
Kadang, yang dibutuhkan justru hadir di tengah bersama, mendengarkan, menumbuhkan semangat dari dalam diri anggota tim.
Inilah makna swakarsa yang diajarkan Ki Hadjar: dorongan dari dalam hati, bukan dari tekanan atau ketakutan.
Pemimpin sejati tahu kapan harus memotivasi, bukan memerintah.
Tut Wuri Handayani – Di Belakang Memberi Dorongan
Dan ketika orang-orang yang dipimpin sudah siap melangkah, seorang pemimpin sejati tahu kapan harus mundur ke belakang.
Memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh, berani mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atas tindakannya.
Pemimpin seperti ini bukan hanya melahirkan pengikut, tapi juga mencetak pemimpin-pemimpin baru.
Lebih dari Sekadar Semboyan
Trilogi Ki Hadjar Dewantara bukan hanya untuk dunia pendidikan tetapi sebuah ajaran universal tentang bagaimana menjadi manusia yang memimpin dengan hati, bukan dengan jabatan.
Tentang bagaimana kekuasaan digunakan bukan untuk menguasai, tapi untuk menuntun dan menumbuhkan.
Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat, ajaran Ki Hadjar tetap relevan:
bahwa pendidikan sejati tak hanya soal ilmu, tapi juga soal karakter dan kebijaksanaan.
Bahwa memimpin bukan soal berada di depan, tapi tahu kapan harus menuntun, kapan harus mendampingi, dan kapan harus mendorong.
Boleh jadi, jika kita masih memegang trilogi itu dalam hati, Indonesia akan selalu punya harapan.***

