• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    Iklan

    Menapaki Panjer: Ketika Ziarah, Sejarah, Trah, dan Nasihat Mahbub Djunaidi Bertemu

    , 21.13 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia
    Menapaki Panjer: Ketika Ziarah, Sejarah, Trah, dan Nasihat Mahbub Djunaidi Bertemu
    Menapaki Panjer: Ketika Ziarah, Sejarah, Trah, dan Nasihat Mahbub Djunaidi Bertemu.


    Wonosobo Media - Jika dilihat dari google maps, mengambil titik tengah alun-alun Kebumen ketika menuju sebuah makam salah satu leluhur di tanah ini hanya dapat ditempuh sekitar 10-15 menitan saja. 


    Seperti dikelilingi sebuah makam para leluhur yang pada zaman dahulu telah berjuang dalam membangun sebuah peradaban, juga menyebarkan sebuah iman-islam. 


    Sehingga sampai sekarang ini kita bisa menikmati, mengambil buah kebaikan yang telah di tanam oleh para pendahulu.


    Agaknya ketika mengurutkan, ada sebuah makam "Kalapaking" tidak jauh dari titik itu, ada juga makam Syekh Kahfi di Somalangu yang menjadi salah satu cikal bakal pondok pesantren di Indonesia.


    Nantinya di Somalangu ini juga ada sebuah perjuangan di era kemerdekaan para pasukan Sabilillah dan Hizbullah atas komando Syeh Mahfudz yang dalam gerilyanya sampai di Gunung Srandil, Adipala Cilacap.


    Sehingga ketika menapaki di sebuah wilayah yang dulu namanya Panjer ini, teringat Syekh Mahfudz dan trah, dzuriyyah Pondok Pesantren Somalangu tersebut.


    Atau juga menjadi teringat perjuangan trah Kalapaking, di era Mataram kala itu. Bahkan penulis pun sempat blusukan berziarah mencari makam Mbah Kertadrana yang berada di Bukit Sipako. Hingga anak turunannya di sekitar Alian, yaitu makam Mbah Wirakerti.


    Menurut kisahnya, tokoh tersebut yang turut serta dalam perang Panjer atau pertempuran Karangsambung.


    Keteladanan yang bisa diambil hikmahnya adalah prinsip yang dipegang senantiasa menjadi jimat dan bekal, sudah tidak bisa diganggu gugat. 


    Dari ketokohan tersebut tak gentar melawan musuh di depannya, kalau urusan A ya A, B ya B, titik, keras dan penuh semangat yang membara.


    Tak heran jika sampai kita ini, kadang mewariskan sebuah kerasnya saja, atau istilah bahasa Wonosoboan : 'kodo' (ko seperti mengucapkan kodok, dan do seperti mengucapkan Do pada nada lagu). Misalnya selintas bagian dari guyonannya seperti itu.


    Nah hal itu, bagian kecil saja dan selingan tipis-tipis, sehingga untuk urusan yang agak serius ya tentunya sebuah gen para pejuang ini perlu kita asah dan pelajari untuk sebuah kebaikan yang lebih baik. Memang tampak utopis.


    Saat ini kerap kali menjadi bahan yang serius maupun bahan obrolan yang biasa saja, perihal kita sebagai keturunannya siapa terkadang satu sisi antara penting dan tak penting. 


    Menjadi penting adalah ketika kita simpan sendiri dan dibalik diri ini masih trah Raden, kanjeng Nabi misalnya ya sebagai pedoman, masa Simbah kita "pantes" mosok sebagai mengaku cucunya kelakuan seperti ini sehingga ketika malu dsb, kita berusaha untuk memperbaiki agar 'pantes' sebagai cucu dari trah tumerah tadi.


    Menutup tulisan ini, menjadi teringat sebuah tulisan dari Mahbub Djunaidi dalam essainya "keturunan". "Apa arti keturunan itu jika dalam praktik kehidupan menunjukkan sikap yang tidak mendukung, yang tidak cocok dengan kemulusan cikal bakalnya?"


    Sementara terkait dengan gelar-gelar seperti pada tulisannya "Betawi" di Kompas 16/10/1988, menyebutkan "gelar-gelar itu boleh saja dinikmati sendiri sambil berbaring. Gelar gelar itu boleh saja dipakai sejauh tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.***


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    iklan mgid

    Yang Menarik

    +