![]() |
| Rutinan SabaMaiya edisi November mengangkat tema "Raja Jawa". |
Wonosobo Media - Sabtu, (15/11) malam, atau malam Minggu istilahnya rutinan SabaMaiya salah satu simpul maiyah di Wonosobo kembali menggelar jadwal melingkar edisi bulan November.
Pada edisi kali itu, mencoba kajian atau tema yang agak berbeda dari biasanya, tidak sekadar merespon perihal urusan yang sedang ramai diperbincangkan entah urusan sosial-politik, atau urusan yang agak melangit perihal olah batin, olah hati dalam menyikapi kahanan zaman.
Berada di Warung Ngadikusuman, yang masih satu komplek dengan Kantor Hukum Kusumanegara, di Ngadikusuman Baru, Kertek, Wonosobo para jamaah dan para penggiat SM malam Minggu yang lalu mencoba menggali sejarah, berangkat dari masa lalu dari leluhur yang dekat dengan kita.
Tentu ini bukan mengajak untuk meromantisme sebuah peradaban di masa lalu, tetapi mencoba mengambil pesan atau formula apa yang perlu digali dan dilakukan untuk hari ini dan yang akan datang.
Sekitar pukul 22.00 WIB mulai dibuka dengan moderator Yuli Dwi Ardi yang mengantarkan para narasumber yang dihadirkan untuk sinau bareng di rutinan SabaMaiya.
![]() |
| Tahlil kirim doa kepada para leluhur sebelum sesi diskusi SM November. |
Sebelum disambung dengan obrolan yang menarik dari para jemaah dan narasumber yang hadir. Dedi Kelana, salah satu penggiat SM mengajak para jemaah yang telah melingkar dengan melangitkan doa-doa, kalimah toyyibah, dan tahlilan bersama.
Sebagai pengantar ketika membicarakan leluhur tak elok rasanya kita tidak uluk salam mendoakan sebagai bagian dari khidmah dan terima kasih yang telah membuat tatanan peradaban sampai sekarang ini.
Mengantarkan diskusi malam itu, Samsul, dengan sapaan akrabnya mas Samsul menceritakan awal mula bisa terjun menggali informasi perihal Raden Mas Sundoro atau Hamengkubuwono II.
Kebetulan pula tema yang diangkat di SabaMaiya edisi November 2025 ini dengan bahasan "Raja Jawa".
Nah ndilalahnya juga yang dibahas ini adalah bagian dari "Raja Jawa" yang kebetulan juga semasa kecil atau lahirnya di lereng Sindoro.
Tidak heran jika tersemat nama Raden Mas Sundoro sebagai tokoh yang digali pada rutinan simpul maiyah di Wonosobo ini.
Mas Samsul mengawali kisahnya dengan persinggungan perihal leluhur di desanya, mulai dari obrolan kawan-kawan di Pagerejo.
Mencari, dan mengurutkan dawuh-dawuh atau nasihat dari para sesepuh dengan mengumpulkan data yang diturunkan getok-tular oleh sesepuh. Hingga muncul nama besar sunan Puger, RM Sundoro, Mbah Makukuhan yang diceritakan menjadi leluhur yang berperan di Pagerejo.
Beberapa data yang diangsu ketika sowan para sesepuh ini menemukan beberapa nama seperti Sunan Puger yang menyimpan kisah seperti di Sikramat, ada juga petilasan Mbah Bondan Kejawan dan temuan lainnya.
Pada akhirnya, ketika diceritakan yang ketika tahu mas Samsul menjadi takut. "Semakin kita mengetahui dan diberi informasi dari para sesepuh, diri saya ini malah semakin takut," ungkap Samsul berkisah.
Lanjut, ia juga menceritakan peristiwa lahirnya Mbah Raden Mas Sundoro yang ada di lereng Sindoro, hal itu dibuktikan dengan data di lapangan.
Bahkan hingga sekarang ini masih ada sebuah tradisi Sadranan yang dilaksanakan setiap 2 selapan pada Jumat Kliwon.
Para warga dengan membawa ubo rampe lengkap, seperti Sego golong, lauk komplit yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun hingga sekarang ini.
Selain itu ada kesenian ada Lengger, jaran kepang, rudad, bahkan masih ada kesenian wayang orang.
Sebagai generasi saat ini, ia pun merasa kaget dan kagum, sebagaimana biasanya kita mengenal bahasa, tutur sekadar ngoko ketika bertanya dengan sesepuh dijawab menggunakan krama Inggil.
Bahkan masih banyak dijumpai warga menggunakan iketan atau memakai iket kepala juga masih kental, ada juga bukti keris joko singkil, nama tempat atau toponimi di Pagerejo, ada nama "Dukuh" katanya juga sempat ditinggali oleh warga keraton kala itu.
Selain itu ditemukan pula sebuah nama wilayah yang disebut "Pomahan", juga pernah ditinggali, tapi sekarang ditinggalkan.
Ada juga nama wilayah Dawuhan sebagai tempat dawuh, pernah ditinggali nama tokoh-tokoh yang berpengaruh pada saat itu.
Di desa Pagerejo, terdapat wilayah bernama Cangkringan, hingga Kali Code dan banyak nama-nama daerah yang sampai saat ini bisa kita jumpai atau ditemukan di Yogyakarta.
Diketahui, RM Sundoro atau nanti setelah jumeneng menjadi Hamengkubuwono II ini lahir pada tahun 1750.
Masih menurut penuturan mas Samsul, bahwa RM Sundoro juga waktu itu sempat ke keraton, tetapi karena berbagai alasan dan juga katanya tidak betah hingga sempat kembali ke Pagerejo. Lereng Gunung Sindoro yang sebagai tempat kelahirannya tidak bisa dipisahkan dari proses kehidupannya.
Karya dari Raden Mas Sundoro atau HB II ini salah satunya yaitu sebuah Serat Suryaraja, menurut Samsul sendiri di dalam serar tersebut HB II menuliskan atau menyematkan juga sebuah tanaman khas yaitu ucen, yang menjadi tanaman khas lereng Sindoro. Dari segi motif atau ukiranya di seret tersebut juga menampilkan lambang yang menarik.
Sebagai tanda lainnya bagian dari data peninggalan Raden Mas Sundoro ini yaitu sebuah batu susu, hingga meriam yang kerap disebut dengan meriam setomi, sebagai kata kunci tanda.
Hal ini menjadi tanda dan data yang menarik layaknya puzzle dalam sebuah rangkaian yang utuh, sembari merunut dan mengumpulkan bahan kajian ke depannya.
Kisah RM Sundoro pun disambung mas Erwin, ia bercerita tentang sebuah plan a dan plan B yang disiapkan oleh Pangeran Mangkubumi atau HB I. Dengan merunutu cerita cerita awal Mangkubumi mau ke lereng Gunung Sindoro.
Erwin menyambung cerita dari Samsul, pada saat itu ketika sedang geger atau ramai di Keraton Yogyakarta, Mangkubumi tetirah atau ngungsi ke tanahnya di lereng Sindoro Sumbing.
Sebagaimana ketika raja pada saat itu tentu memiliki sebuah tanah atau wilayah, sehingga tak heran jika ketika tidak nyaman di suatu wilayah, akan berpindah atau tetirah di tanah wilayahnya yang lain.
Gambaran keraton sudah disiapkan di lereng Sindoro itu di Wonosobo disekitarnya. Malahan keraton dan nama toponimi itu replika dari plan A sendiri.
Seperti menegaskan ungkapan dari mas Samsul, banyak toponimi yang selaras dengan beberapa hal di kraton.
"Nah sejarah yang terkait dengan Wonosobo sendiri agak dikesampingkan dari sejarah di Indonesia." Tandas Erwin Abdillah.
Bahkan ia juga berkisah tentang perjalanan atau perlawanan para leluhur pada zaman dahulu itu juga terdapat ikatan dengan tarekat Syatariyah ketika melawan penjajah.
Yuli sebagai moderator malam itu juga memantik kembali dengan pertanyaan seputar karya HB II seperti Serat Suryorojo sebagai karya dari sang RM Sundoro.
Menariknya, ada kisah unik terkait dengan Serat Suryaraja ini ketika dibacakan, bahkan bumi pun bergetar.
Diskusi pun masih bergulir asyik, menyimak kisah-kisah inspiratif dari para pendahulu, terutama berkaitan dengan HB II yang malam itu memang khusus digali, perjuangannya hingga sebuah lelaku teladan dari kecil hingga jumeneng seorang raja.
Direspon oleh mas Erwin, tentang proses sang raja ini, ketika mau jumeneng menjadi raja perlu bisa memimpin skala kecil sebuah pertempuran, hingga spiritual diri tentunya disiapkan. Syarat lainnya seperti pandai menulis, sastra, dan hal lainnya.
Selain itu memang telah kejatah "pulung" hingga mendapat "Wahyu" dari Tuhan, sementara ketika misah seperti Pangeran Diponegoro yang agak berbeda dengan pola diwisuda dari para guru gurunya.
Pertanyaan hingga diskusi malam itu pun dibuka dan direspon dengan gayeng oleh para jemaah yang merapat di Ngadikusuman Baru.
Misalnya, terkait dengan jejak yang ada di Sontonayan, atau pertanyaan cara menggali dan meneruskan data silsilah di keluarga.
Respon lainnya juga terkait dengan metode atau cara penggalian sebuah sejarah yang tidak sekadar pada urusan tahun, tempat, dan standar metode modern namun sebuah keteladanan atau peran apa yang bakal diambil pesan hikmahnya oleh kita hingga generasi berikutnya.
Mengambil contoh seperti ketika kita dalam peristiwa tertentu sudah diberi tahu dan nantinya akan ada hal yang kurang baik, terkadang ada dua pilihan, berdiam diri saja atau mempersiapkan sebisa-bisanya.
Sehingga ketika ada sebuah pesan dari para leluhur kita ini, sebisanya kita merespon untuk mempersiapkan dengan cara meneladani dari lelaku, atau suluk kehidupan para pendahulu sekuat dan sekadar kemampuannya.
Merespon hal ini, Erwin Abdillah pun bercerita pula terkait buku yang ditulisnya, bahwa semua data yang diracik sehingga menjadi satu buku itu juga berangkat dari banyak kebetulan dan ke-ndilalahan.
Hingga dari proses yang agak panjang menjadi sebuah data dan digali menjadi tulisan tersebut sampai dipertemukan dengan ragam tokoh, akademisi yang tidak ia sangka. Seperti Peter Cary, Romo Manu hingga sebuah data yang dikirimkan oleh temannya pula.
Obrolan, diskusi malam itu tak terasa sudah hampir 3 jam lebih, meski suasana di Wonosobo yang dingin disertai gerimis tipis di sekitar joglo sebagai tempat duduk untuk melingkar ini tak menyurutkan semangat membedah dan menyelami makna dan keteladanan dari para leluhur kita. Khususnya ruang lingkup di Wonosobo.
Tentunya obrolan seperti ini tidak hanya selesai dalam satu malam suntuk, bakal ada ulasan dan panggung ke panggung, ruang akademisi, meja ke meja diskusi, atau obrolan di kursi angkringan di lain kesempatan.
Malam itu dirasa cukup sementara, dan dipungkasi dengan kesimpulan yang telah dipegang masing-masing jemaah yang hadir.
Mengambil petikan hikmah, mengambil formula yang telah ditangkap sesuai kadar ukuran pribadi sesuai dengan latar belakang, profesi masing-masing menjadi bekal untuk melangkah di perjalanan hari ini hingga mendatang.
Moderator, Yuli pun memungkasi dengan mengutip kalimat sakral yang mendalam, bahwa barangsiapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya. ***


.jpg)