Dalam urusan pariwisata tentunya tak ada ikatan mana yang religi atau tidak, tak mungkin sebuah obyek wisata meneguhkan dengan mendeklarasikan dirinya sendiri.
Hanya saja sebuah kebudayaan dalam keberlangsungan kita perlu disepakati bersama, bahwa oh ini yang berbau dengan doa dan apapun yang berbau agama disimpulkan menjadi wisata religi. Namun dari dialektika tersebut ternyata yang lebih penting adalah output serta pelayanannya yang baik dan memadai serta diharapkan.
Seperti halnya ketika kita berwisata atau berziarah ke makam leluhur, bukan "penemu" atau pengunjung makam yang ampuh, melainkan sang sahibul makam ingkang sumare, sebab dalam kebisuannya, ia bisa mengundang para pendosa untuk menemuinya di balik rimbunnya rumput liar dan dalam keterbengkalaiannya. Lalu para pendosa itu merapalkan kalimat-kalimat suci serta pepuji pada Sang Nabi di sisinya.
Ada makam-makam yang seseorang selalu kangen untuk menyowaninya. Entah seminggu sekali, sebulan sekali, atau bahkan setiap hari. Kekangenan terjadi karena perjalanan batin seseorang itu ada dalam rangkaian, mirip, atau bahkan sama dengan suluk sang sahibul maqam. Hal ini sebagaimana berlaku juga bagi orang-orang tertentu yang sangat gemar membaca karya-kitab atau mendengarkan manaqib wali tertentu. Itu berarti ia memang diperjalankan di jalan yang dulu pernah ditempuh oleh wali tersebut dalam penuh-seluruhnya.
Berwisata ke kuburan, makam, candi, membaca relief sampai inskripsi pada nisan kuno selain berziarah juga belajar akan sejarah, arkeologi, antropologi serta geneologi, kawidyan atau pengetahuan tentang silsilah(nasab) dan epistemologi. Mencari jatidiri ya ke kuburan saja.. Biar kenal sama trah dan kaweruh pendahulunya. Sebab perjalanan seseorang ke depan tak bisa lepas dari garis itu. Bolehlah ikut training motivasi, tapi kalau bayar, pikir-pikir dulu.