• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    Iklan

    Makam Sayyid Ibrahim Ba’abud Wonosobo dan Inskripsi Demak Troloyo

    , 09.47 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia



    Sebagaian besar masyarakat mungkin sepakat bila dikatakan bahwa Pulau Jawa merupakan pusat episentrum penyebaran Islam di Nusantara. 


    Meski bukan sebagai wilayah pertama yang menganut Islam, tapi di pulau inilah untuk pertama kalinya Islam diterima demikian luas, serta menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam paling semarak, sehingga Islam menyebar luas di Nusantara sampai hari ini di Wonosobo.


    Walisongo adalah tokoh-tokoh penting yang dianggap sebagai pionir dalam proses ini. Merekalah yang membuat Islam mudah diterima dan dihayati oleh masyarakat, hingga menjadi pandangan hidup bersama. 

    Puncaknya, adalah ketika umat Islam berhasil mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang bernama Demak, dan meneguhkan posisi umat Islam di tanah Jawa. 


    Dilihat dari asal katanya, Walisongo berasal dari dua kata, yaitu wali yang berasal dari bahasa Arab waliyullah yang berarti orang yang mencintai dan sekaligus dicintai Allah SWT., dan kata sanga yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. (Sofwan, 2004:7). 


    Sehingga, Walisongo adalah sembilan orang utama yang dicintai oleh Allah SWT, yang dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh yang berdakwah menyebarkan Islam pada dekade awal di Jawa. 


    Sebagaimana tulisan yang dilansir dari seorang antropolog, Ambary mengelompokkan kijing makam tua Nusantara dalam 4 tipe.


     Yakni (1) Nisan tipe Aceh; (2) Nisan tipe Demak-Troloyo; (3) Nisan tipe Bugis-Makassar; (4) Nisan tipe Lokal. 


    Para Arkeolog lainnya ada juga yang menambahkan tipe Banten dan tipe Ternate di luar pengelompokan tipe Lokal. 


    Nisan yang ada pada foto di atas masuk dalam kategori Demak Troloyo tanpa inskripsi. Ragam hias diadopsi dari kebudayaan klasik (Hindu). 

    Model Kurawal atau Sulur Makara yang liukannya mengadaptasi simbol makara di pintu/tangga candi. 


    Ada juga motif hias geometris segitiga atau tumpal. Adapula sulur-sulur tanaman atau hiasan medalion, yang kesemuanya juga bisa kita temukan pada dinding-dinding candi. 


    Tanpa inskripsi angka tahun atau keterangan lainnya, baik dalam aksara Jawa kuno atau Arab kita sulit untuk menentukan tahunnya. 


    Jika pada makam masa Demak-Troloyo kaya akan inskripsi, maka model polosan seperti ini diduga hadir sejak awal abad 18 hingga awal abad 20.

     Lain lagi yang tersebar di Wonosobo misalnya, ada beberapa nisan yang pernah saya temui menyerupai atau masuk tipe nisan tersebut. 


    Maksudnya beberapa corak dan motif yang dikelompokkan seperti motif pada masa Demak Troloyo. 


    Misalnya sebuah nisan atau kijing di daerah kuburan Mainan, Wonosobo, yang menandakan motif tersebut. 


    Ada juga makam habib yang masih satu masa. Makam tersebut adalah makam Sayyid Ibrahim Ba’abud.

     Dilihat dari inskripsi yang tertulis menunjukkan tahun dengan angka arab 1880 dan tentu masih ada yang lebih tua dari itu. 


    Dengan model seperti kemuncak pada candi sampai menyerupai candi Parikesit, yang ditemukan di daerah Kecamatan Kejajar, Wonosobo dengan ukiran khas. 


    Selain itu, beberapa kijing pada kisaran abad 18 juga kebanyakan menggunakkan motif Demak Troloyo ini, meski di era ini memiliki tahapan pada era perang Jawa dan sebagainya.


    Juga menyimpan makna dan pesan yang berbeda, entah apa sebabnya sehingga rata-rata model kijing terbuat dari batu mirip batuan candi.

     Boleh jadi pada masa itu sedang hits model dengan corak yang sama, tergantung pada permintaan anak keturunan yang diwariskan. 


    Kunci terpenting tugas kita adalah merawat dan menjaganya titipan leluhur masa lalu yang dibalik suatu kejadian atau pun barang tentu menyimpan rahasia-rahasia ilmu apapun untuk bekal kita dalam laku kehidupan.

    tulisan di atas pernah terbit di islami.co

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Yang Menarik

    +