• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    news google

    Iklan

    Sudut Pandang Anak dan Tawa di Antara Buku Tulis

    , 16.43 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia

     

    Sudut Pandang Anak dan Tawa di Antara Buku Tulis
    Sudut Pandang Anak dan Tawa di Antara Buku Tulis(foto: penulis menyoroti tulisan anaknya).

    Wonosobo Media - Menjadi orang tua yang bekerja di luar kabupaten punya tantangannya sendiri. Waktu bersama keluarga seringkali jadi barang langka, apalagi urusan kecil di rumah yang kadang tidak sempat saya perhatikan.


    Namun, satu hal yang saya syukuri adalah akhir pekan—momen yang walaupun singkat, selalu saya usahakan untuk diisi dengan hal-hal sederhana yang mendekatkan saya pada keluarga.


    Suatu akhir pekan, saya memutuskan untuk membersihkan rumah. Bukan karena sedang rajin-rajinnya, tapi karena sudah mulai risih dengan sarang debu yang tampaknya lebih betah tinggal di rumah daripada saya sendiri. 


    Target utama saya saat itu: kamar anak-anak. Terutama kamar si sulung yang kini duduk di kelas enam Madrasah Ibtidaiyah.


    Sambil bersih-bersih, mata saya tertuju pada tumpukan buku tulis yang ditumpuk seadanya di atas rak. “Mari kita lihat, sebenarnya apa sih yang dipelajari anak ini di sekolah?” pikir saya. 


    Entah kenapa, ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul. Mungkin karena merasa sudah lama tidak benar-benar ‘menengok’ dunia sekolah dari sisi anak sendiri.


    Saya mulai membuka satu per satu buku itu. Buku Matematika, catatan IPA, PR Bahasa Jawa yang tulisannya bikin saya terpana karena saya lupa semua huruf hanacaraka. 


    Pada akhirnya, saya sampai pada satu buku bersampul lusuh bertuliskan Bahasa Indonesia. Isinya... ah, luar biasa. 


    Barisan huruf-huruf yang tampaknya ditulis dengan tangan tergesa-gesa—tapi penuh semangat tampak seperti seni kontemporer: cakar ayam edition.


    Namun di sinilah kejutan sesungguhnya datang. Saat membalik halaman demi halaman, saya menemukan satu karangan yang membuat saya spontan tertawa cekikikan. Judulnya, “Asyiknya Bermain Air”.


    Kisah Banjir yang Bikin Bahagia


    "Asyiknya bermain air

    Setiap musim hujan, sekolahku selalu kebanjiran. Teman-teman sangat senang jika sekolah terkena banjir. Kami dapat membersihkan sambil bermain air. Akan tetapi musim hujan kali ini sekolah kami tidak kebanjiran. 


    Kami merasa sedih. Kami tidak dapat membersihkan sekolah sambil bermain air. Kami pun berharap turun hujan besar, sehingga sekolah kami kebanjiran. 


    Ternyata beberapa hari kemudian terjadi hujan besar. Sekolah kami kebanjiran. Kami merasa senang. Kami bermain air sambil membersihkan sekolah."


    Saya membacanya berulang kali. Setiap kali membacanya, selalu ada senyum yang muncul. 


    Bukan karena ingin mengejek, tapi karena cerita ini benar-benar jujur, polos, dan lucu secara tidak sengaja.


    Dari sudut pandang orang dewasa, banjir adalah masalah. Tapi dari sudut pandang anak-anak, banjir bisa jadi wahana bermain gratis. 


    Sambil membersihkan sekolah, mereka bisa ciprat-cipratan air seperti di kolam renang darurat. Bahkan ada harapan di sana, harapan agar hujan deras segera turun dan sekolah bisa... kebanjiran.


    Saya membayangkan bagaimana anak saya dan teman-temannya menunggu hujan dengan penuh semangat, bukan dengan resah.


    Bagaimana mereka datang ke sekolah dengan semangat bukan karena pelajaran baru, tapi karena “wah, hari ini bisa nyebur di kelas!” Dan tiba-tiba saya merasa... iri. Ya, iri dengan cara mereka melihat dunia.


    Anak-Anak dan Perspektif yang Membebaskan


    Ada hal yang ajaib dari dunia anak-anak. Mereka melihat sesuatu tidak dari dampak jangka panjang atau dari laporan kerugian materi. 


    Mereka tidak peduli apakah banjir akan membuat meja kelas rusak atau kertas-kertas basah. Yang mereka tahu, banjir itu artinya bisa bermain air dan melewati hari dengan tawa. Dunia mereka sederhana, dan justru karena itu, menyenangkan.


    Tulisan anak saya itu membuat saya berhenti sejenak. Saya duduk di ranjangnya, masih memegang buku Bahasa Indonesia itu.


    Hingga membiarkan diri saya larut dalam renungan kecil. Mungkin sesekali, kita memang perlu melihat hidup dari kacamata anak-anak.


    Bayangkan, jika kita bisa memandang kemacetan sebagai waktu bonus untuk mendengarkan lagu favorit. 


    Atau melihat hujan sebagai alasan untuk istirahat dan menyeduh kopi. Atau bahkan melihat masalah sebagai permainan tantangan yang bisa diselesaikan dengan kreativitas, bukan keluhan.


    Dari Cekikikan ke Refleksi


    Saya tidak pernah menyangka kegiatan bersih-bersih rumah bisa membawa saya ke momen reflektif seperti ini. 


    Dari membuka buku tulis yang nyaris terlupakan, saya justru mendapat pelajaran hidup. 


    Pelajaran tentang bagaimana menyederhanakan pikiran, menerima kenyataan, dan menikmati hal-hal kecil.


    Anak saya mungkin hanya sedang memenuhi tugas mengarang. Tapi tanpa sadar, dia telah mengajarkan ayahnya satu bab penting: bahwa hidup tak selalu harus serius. 


    Kadang, lucu-lucuan itu penting. Ketawa sendiri di kamar sambil baca karangan juga bisa jadi terapi jiwa yang murah meriah.


    Libur, Bersih-Bersih, dan Bahagia


    Akhir pekan itu saya habiskan dengan senyum. Bukan hanya karena rumah jadi bersih (meskipun itu bonus yang menyenangkan), tapi karena saya merasa lebih dekat dengan anak saya. 


    Saya bisa melihat sekelumit dunia dari matanya. Dunia yang masih jernih, bebas prasangka, dan penuh imajinasi.


    Kisah sederhana tentang anak-anak yang berharap sekolah kebanjiran agar bisa bermain air adalah salah satu pengingat terbaik yang saya dapat tahun ini. 


    Bahwa dalam hidup, kita sering lupa bagaimana rasanya bahagia tanpa syarat. Tanpa embel-embel “nanti kalau sudah sukses” atau “nanti kalau semua lancar”.


    Mungkin sudah waktunya kita kembali belajar—bukan dari seminar motivasi atau buku self-help mahal, tapi dari karangan anak SD yang tulisannya mirip cakar ayam, namun isinya bikin hati hangat.


    Dan pada akhirnya, saya hanya bisa tersenyum sambil berkata dalam hati: “Terima kasih, Nak. Karena lewat tulisanmu, Ayah belajar tertawa lagi.”***


    *Ifat 

    Buruh pemerintahan

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    iklan mgid

    Yang Menarik

    +