• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    news google

    Iklan

    Ketika Rakyat Menabung Puluhan Tahun, DPR Cukup Lima Tahun

    , 08.04 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia
    Ketika Rakyat Menabung Puluhan Tahun, DPR Cukup Lima Tahun

    Ketika Rakyat Menabung Puluhan Tahun, DPR Cukup Lima Tahun

    Oleh : Ifat

    Wonosobo Media - Bayangkan seorang buruh yang bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan sarapan seadanya untuk anak-anaknya, lalu berangkat ke pabrik dengan gaji pas-pasan.


    Ia bekerja dua puluh, bahkan tiga puluh tahun, demi sebuah jaminan di hari tua. Bandingkan dengan seorang anggota DPR yang hanya lima tahun duduk di Senayan.


    Mengikuti sidang, merancang undang-undang, kadang disorot, kadang terlupa. 


    Ketika masa jabatannya usai, negara menjamin pensiun baginya, seumur hidup, tanpa harus menabung sebagaimana rakyat kebanyakan.


    Di atas kertas, hal itu sah. Ada undang-undang yang mengatur. Besarnya sekitar enam puluh hingga tujuh puluh lima persen dari gaji pokok terakhir. 


    Namun persoalan bukan hanya soal legalitas, melainkan juga rasa keadilan. Rakyat biasa menabung dari keringatnya.


    Berpuluh-puluh tahun bekerja, lalu masih juga dihantui kecemasan: cukupkah uang pensiun untuk membeli obat, membayar listrik, dan menyekolahkan cucu? Di titik ini, kita melihat jurang yang lebar antara rakyat dan wakilnya.


    Lalu kita bertanya, berapa besar sesungguhnya beban negara? Jika satu angkatan DPR berjumlah 575 orang, maka mulai 2029 negara sudah harus membayar pensiun bagi mereka yang habis masa jabatannya. 


    Dalam skenario paling rendah, dengan uang pensiun sekitar dua setengah juta rupiah per bulan, negara mengeluarkan lebih dari tujuh belas miliar rupiah setahun. 


    Jika jumlahnya lebih besar, katakanlah sembilan setengah juta per bulan, biayanya melonjak menjadi lebih dari enam puluh miliar. 


    Apabila mengikuti perhitungan paling tinggi, tiga puluh tujuh juta per bulan, maka APBN harus merogoh sekitar dua ratus lima puluh miliar setiap tahun untuk satu angkatan saja.


    Beban ini tidak berhenti di situ. Lima tahun kemudian, angkatan baru bergabung sebagai penerima pensiun. 


    Lalu lima tahun berikutnya, angkatan berikutnya lagi. Dalam horizon tiga puluh tahun, total akumulasi bisa mencapai triliunan rupiah. 


    Angka yang tidak kecil, terlebih ketika kita tahu masih banyak sekolah reyot, jalan desa rusak, dan rumah sakit penuh sesak.


    Apakah adil? Pertanyaan itu mengganggu nurani kita. Rakyat yang diwakili harus berjuang panjang untuk sekadar merasakan jaminan hari tua.


    Sementara wakil rakyat cukup sebentar duduk di kursi parlemen sudah mendapat hak seumur hidup. Hukum mungkin membenarkan, tetapi rasa keadilan sulit menerima.


    Di titik ini, kita bisa belajar dari negara lain. Inggris, misalnya, pernah mengubah sistem pensiun parlemen. 


    Alih-alih menanggung pensiun seumur hidup, mereka mengalihkan skema ke tabungan pribadi berbasis kontribusi. 


    Tujuannya sederhana: agar wakil rakyat tidak memiliki privilese yang jauh melampaui rakyatnya sendiri.


    Prinsip yang ingin ditegakkan adalah proporsionalitas, sebuah ukuran kewajaran yang bisa diterima akal sehat publik.


    Bukan berarti wakil rakyat tidak layak dihargai. Jabatan itu memang berat, penuh risiko, dan tidak ada kepastian akan terpilih kembali.


    Namun penghargaan seharusnya sejalan dengan rasa keadilan. Bila rakyat masih harus menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan, seharusnya wakil rakyat pun bersedia menjalani mekanisme serupa.


    Bukan untuk merendahkan martabatnya, justru untuk menguatkan ikatan moral dengan rakyat yang diwakilinya.


    Filsuf Yunani kuno, Plato, pernah berkata bahwa keadilan adalah ketika setiap orang menerima bagian yang pantas baginya.


    Keadilan, dengan kata lain, adalah proporsionalitas. Dalam kerangka ini, pertanyaan mendasar kembali muncul: apakah lima tahun kerja sepadan dengan pensiun seumur hidup.


    Sementara jutaan rakyat masih berjuang tanpa kepastian di hari tua?


    Mahatma Gandhi pernah menegaskan bahwa “kesejahteraan sejati tidak terletak pada banyaknya hak istimewa, melainkan pada pengabdian kepada sesama.” 


    Kutipan ini bisa menjadi cermin bagi siapa pun yang memegang amanah publik.


    Pada akhirnya, pensiun DPR bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin dari cara sebuah bangsa menimbang keadilan.


    Apakah kita rela membiarkan jurang antara rakyat dan wakilnya semakin menganga, ataukah kita berani menata ulang agar keduanya berjalan di jalan yang sama?


    Sebab, yang membuat seorang wakil rakyat istimewa bukanlah hak istimewanya, melainkan pengabdiannya yang tulus. Dan di situlah letak keadilan yang paling sejati.***


    Ifat


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    iklan mgid

    Yang Menarik

    +