• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    news google

    Iklan

    Ngaji Iket di Haul Karangtengah: Mencari Sanad Hingga Ngobrolin Blangkon yang Disalahpahami

    , 20.18 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia

     

    Ngaji Iket di Haul Karangtengah: Mencari Sanad Hingga Ngobrolin Blangkon yang Disalahpahami
    Yasser Arafat sedang mempraktikkan memakai iket kepala dengan berbagai model.

    Wonosobo Media - Masih seputaran haul Mbah Mangku Yudha dan Nata Yudha di Karangtengah Batur Banjarnegara, tersimpan arsip dan cerita salah seorang pentolan majelis di Kabupaten Batang yang turut hadir dan nyambung paseduluran.


    Ia mendaki lereng gunung Prau dan jajaran pegunungan Dieng dari Bawang menaiki Tol Langit dan singgah di beberapa titik wilayah yang dipercaya konten-able, meskipun berdalih mencharger energi alasannya, kita amini saja.


    Pada siang itu, sebelum Syekh Yasser Arafat membersamai acara haul di Karangtengah itu menyela Kang Izin untuk meminta 'sanad' belajar iket kepala yang kerap dipakai Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.


    Istilahnya ngalap berkah dan nyambung sanad iket (dibahasakan begini agar penuh hikmah dan masaowoh).


    Yasser Arafat memperagakan beberapa gaya iketan atau memakai iket kepala Jawa dengan diselipi cerita yang terkadang bikin kita mengangguk kepala dan sedikit berpikir, membatin "ohyaa, ya".


    Berada di rumah sang sahibul haul, juga kebetulan juga masih ada beberapa dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banjarnegara dan mahasiswa, turut menyimak apa yang diperagakan dan dinarasikan oleh Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.


    Terdapat di samping Yasser Arafat, ada pentolan majelis Sorban Wali, Kang Izin yang ngebet ingin bisa memakai iket kepala Jawa.


    Ia menyimak dengan seksama dan dengan sigap untuk meminta temannya mendokumentasikan prosesi iketan tersebut.


    Sebagaimana diketahui iket kepala Jawa di sekitaran kita tentu masih bukan menjadi hal asing, apalagi di daerah Wonosobo, Banjarnegara dan sekitarnya.


    Apalagi di Wonosobo sendiri, memakai iket masih ada dan kerap dipakai pada kegiatan berbau tradisi atau kebudayaan, nyadran, event hari jadi kabupaten atau lebih tepatnya dipakai ketika ada Lengger dan jaranan.


    Perihal iket kepala batik atau iket Jawa ini pun memiliki gaya atau model ketika dipakai di kepala,  misalnya seperti blangkon, atau model udeng-udeng penting ditali.


    Atau jika lebih menggunakan istilah daerah ada model gaya iketan ini, khas Kudusan, khas Mataraman atau iketan khas pengulu pada zaman dahulu.


    Terkait iketan ini oleh Yasser Arafat pun dijelaskan satu per satu dipraktikkan mulai dari iketan pengulu, iketan khas Mataraman hingga ada celetukan dari kawan-kawan iketan khas dukun.


    Meskipun sebenarnya hal iketan pada zaman dahulu menjadi lumrah, namun sekarang karena branding dari film-film horror yang terkadang menyudutkan orang Jawa.


    Seperti label dukun yaitu dengan pacakan atau baju khas, surjan, blangkon atau iket dan ubo rampe lengkap yang menjadi dukun.


    Atau sebuah iklan yang berpakaian sama dengan blangkon dan diceritakan itu sebagai jin yang populer dengan celetukan "wani piro?, ngimpii".


    Dengan label atau berkat film film horor dengan berpakaian tersebut yang menganggap itu dukun dan sebagainya, sampai sekarang ini, jika kita memakai iket Jawa, blangkon atau Surjan dicap sebagai dukun, sebagai orang yang konservatif. Misalnya.


    Padahal jika dirunut lagi, memakai iket mungkin pada zaman dahulu sebagai penutup kepala saja, dan lumrah di sekitar kita, misal di Jawa, Sunda dan daerah Nusantara lainnya.


    Seperti sekarang ini layaknya topi, atau boleh jadi peci. Nah dari perjalanannya terkait dengan iket kepala sendiri ini lalu berubah menjadi lebih praktis seperti blangkon.


    Iket sendiri pun memiliki sarat makna, misalnya lumrahnya orang zaman dahulu pria terutama berambut panjang dan ketika memakai iket akan digelung atau dikucir.


    Nah gelungan di belakang kepala ditutup menggunakan iket sebagai simbol pengendalian diri.


    Hingga lebih praktis lagi dari iket dibuat blangkon dengan motif batik dan lipatan yang juga memiliki makna filosofis.


    Ketika blangkon diperkenalkan, desainnya menyerupai iket saat dikenakan, yaitu dengan sebuah tonjolan di bagian belakang.


    Sampai pada perkembangannya, desain blangkon dengan tonjolan di belakang atau disebut mondholan lebih populer di Yogyakarta, sedangkan untuk blangkon khas Solo memiliki desainnya sendiri.


    Nah dari kisah dan arsip cerita pada momentum haul Mbah Mangku Yudha dan Nata Yudha di Karangtengah Batur Banjarnegara itu, akhirnya apakah kang Izin sudah bisa memakai iket kepala model apa sekarang? 😂


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    iklan mgid

    Yang Menarik

    +