![]() |
Leye, Warisan Tiga Generasi |
Wonosobo Media - Kalau di kota orang sibuk debat soal beras SPHP, di Wonosobo ada cerita yang nggak kalah menarik. Namanya leye. Makanan dari singkong yang dulu dianggap “nasi darurat”, eh sekarang malah lebih mahal dari beras. Ironi? Bisa jadi. Tapi juga bukti kalau harga gengsi kadang lebih mahal daripada harga pangan pokok.
Leye, Warisan Tiga Generasi
Di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Wonosobo, ada banyak keluarga yang masih setia makan leye. Salah satunya Fitriyah (40). Dari dapur kecilnya, ia rutin memasak leye untuk orang tua, suami, dan dua anak.
Singkong direbus, didiamkan, dijemur, digiling, lalu dikukus. Ribet? Banget. Tapi hasilnya: nasi singkong yang aromanya bikin nostalgia masa paceklik.
Dulu leye identik dengan “makanan orang susah”. Sekarang? Harga leye di pasar bisa tembus Rp18–20 ribu per kilo, sementara beras medium masih di kisaran Rp9 ribu. Jadi, kalau ada orang bilang “singkong makanan ndeso”, mungkin dia belum pernah belanja di pasar Wonosobo.
Dari Dapur Desa ke Pasar Modern
Kisah leye nggak berhenti di dapur. Ada Siti Maryam, atau yang akrab dipanggil Maria Bo Niok, yang bikin eksperimen gila: mengolah leye dan tiwul jadi produk instan premium.
Setelah 13 tahun ngulik, Maria berhasil bikin tiwul instan yang dijual tiga kali lipat lebih mahal dari beras.
Kemasan 400 gram: Rp12 ribu
1 kilo: Rp30 ribu
2 kilo: Rp50 ribu
Dan jangan salah, laris manis. Dari pasar tradisional sampai bandara Soekarno-Hatta, bahkan sudah ekspor ke Hong Kong, Malaysia, sampai Abu Dhabi.
Nasi Singkong Rasa Durian, Ada!
Biar nggak monoton, Maria bikin banyak varian rasa: pandan, ubi ungu, gula aren, kelor, sampai durian dan stroberi. Bayangin makan tiwul rasa durian di Hong Kong. Itu baru soft power kuliner ala desa.
Bukan Sekadar Bisnis, Tapi Pemberdayaan
Selain menjual, Maria juga ngajak petani gabung di kelompok tani “Martani”. Mereka bukan cuma jadi pemasok singkong, tapi juga belajar produksi olahan: mocaf, tiwul instan, hingga produk kreatif lain. Hasilnya? Pendapatan petani naik, stigma “makanan jelata” pun ikut naik kelas.
Dari Pangan Tersisih Jadi Pangan Bergengsi
Leye membuktikan satu hal: makanan tradisional itu nggak pernah benar-benar kalah. Kadang cuma butuh sentuhan inovasi, sabar menghadapi gengsi, dan sedikit branding biar tampil kece.
Dulu dianggap pengganti nasi saat beras mahal, sekarang malah jadi produk yang lebih mahal dari beras. Dari “simbol kemiskinan” berubah jadi ikon kuliner premium. Plot twist yang bikin nasi putih jadi minder.