• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    news google

    Iklan

    Memaknai Laku Sufisme dalam Macapat di Sastra Gendhing

    , 18.18 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia
    Dieng
    Ilustrasi tempat menarik di Dieng yang cocok buat suluk menentramkan diri.


    Wonosobo Media - Hal yang berhubungan dengan pendekatan diri kepada Sang Pencipta yang berasal dari rasa, hati, dan esoteris seringkali disebut dengan laku sufisme.


    Terdapat dua macam arti sufisme dalam Sastra Jawa, yang pertama yaitu ada karya sastra tulis yang berisi masalah kepercayaan, keyakinan, hingga filsafat. 


    Sementara yang satu lagi yaitu sastra lisan dunia seni pedalangan yang mewujudkan rangkaian lagu untuk mengimbangi iringan gamelan dan membangun suasana cerita.


    Dilansir Wonosobo Media dari jurnal karya (Ahmadi, 2002) Suluk, karya sastra tulis memuat ajaran sufisme atau mistik untuk menemukan kebenaran dengan berserah diri pada alam dan Tuhan. 


    Hal tersebut berkenaan dengan kalimat sangkan paraning dumadi atau proses kehidupan seseorang dari mana dan mau kemana yang berarti asal dan tujuan hidup.


    Selanjutnya ada istilah manunggaling kawula gusti yang berarti menyatunya makhluk hidup dengan sang Khaliq atau Tuhan.


    Dua hal di atas merupakan bagian dari loro-loroning atunggal atau dua hal yang berbeda namun dapat bersatu atau kesamaan dan saling terikat dalam kepribadian Jawa.


    Misalnya dalam penerapan Aksara Jawa filsafat sufisme diwujudkan dalam tembang macapat Pangkur Serat Sastra Gendhing di bawah ini:


    Karan sastra kalih dasa,


    wit pangestu tuduh kareping puji,


    puji asahing tumuwuh, 


    mirit ring akadiyat,


    sastra ha-na-ca-ra-ka pituduhipun,


    dene kang da-ta-sa-wa-la,


    gegetyaning kang amuji.


    Wahdat jati kang linaras,


    ponang pad-dha-ja-ya-nya angyakteni,


    sami santosanira,


    kahanannya wakadiyat pametipun,


    dene kang ma-ga-ba-tha-nga,


    wis kanyatan jatining isih.


    Makna


    Disebut aksara dua puluh,


    mula restu petunjuk kehendak puji,


    puji asalnya yang tumbuh,


    bersasar akadiat (tauhid),


    aksara ha-na-ca-ra-ka petunjuknya,


    adapun da-ta-sa-wa-la,


    penggantinya yang memuji.


    Tuhan Allah yang disembah, 


    adapun pa-dha-ja-ya-nya membuktikan,


    yang menunjuk dan yang ditunjuk, 


    sama kekuartannya,


    keadaannya bersumber ajaran agama,


    adapun ma-ga-ba-tha-nga,


    sudah terbukti hakikat kasih sayang.


    Bisa diambil kesimpulan dari tembang macapat di atas jika aksara Jawa sebuah sistem yang tidak hanya berfungsi untuk alat komunikasi.


    Namun juga memiliki nilai keagamaan untuk memahami keesaan Tuhan untuk mendapatkan petunjuk hidup, dan merasakan kasih sayang-Nya.***

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    iklan mgid

    Yang Menarik

    +