![]() |
| Ilustrasi:“Lagu Oplosan dan Air Mata di Tengah Hujan” |
Oleh: Ifat
Wonosobo Media - Hujan turun deras sore itu, mengguyur jalan antar kota Wonosobo–Banjarnegara. Waktu menunjuk pukul tiga, langit mengabu, dan udara membawa aroma tanah yang lembap. Bus yang kutumpangi melaju perlahan, mengerang di setiap tanjakan.
Air dari luar menetes masuk lewat celah jendela yang tak rapat, menetes ke pipi, menciprat halus ke wajah. Tidak ada kemewahan di dalam bus itu, hanya kursi usang dan deru mesin yang setia. Tapi di situlah, entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang mendalam — sesuatu yang sulit dijelaskan oleh logika.
Bus kali ini agak lengang, tidak seperti biasanya. Hanya beberapa penumpang yang duduk berpencar, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Seorang ibu muda menidurkan anaknya di pangkuan, seorang lelaki tua memeluk tas kecil di dadanya.
Dari depan, sang sopir memutar lagu Oplosan. Suaranya mendayu-dayu di antara gemuruh hujan. Suara penyanyi dangdut yang energik, kadang menggoda, tapi kali ini terdengar seperti doa yang pelan — sebuah renungan yang lahir dari kehidupan yang lelah.
“Opo ora eman duite? Gawe tuku banyu setan.”
“Ojo diteruske mendeme, mergo ora ono untunge.”
Lirik itu, sederhana dan lugas, meluncur seperti nasihat dari kawan lama. Aku tak tahu mengapa, tapi tiba-tiba mataku basah. Air mata menetes tanpa aba-aba.
Aku sendiri heran, bagaimana mungkin lagu dangdut koplo yang biasa terdengar di pesta hajatan itu bisa membuatku begitu tersentuh?
Mungkin karena sore itu, di dalam bus yang berguncang dan lembab, aku merasa dekat dengan dunia yang dilukiskan lagu itu. Lagu Oplosan bukan hanya tentang minuman keras atau nasihat moral; ia tentang kehidupan rakyat kecil yang berjuang di jalan sempit antara kebutuhan dan keterpaksaan.
Tentang manusia yang mencari pelarian, bukan karena ingin rusak, tapi karena hidup sering terasa terlalu berat untuk ditanggung dengan kepala yang sepenuhnya sadar.
Suara hujan menambah nuansa sendu. Aku memandang ke luar jendela: rumah-rumah kecil berbaris di tepi jalan, anak-anak berlarian di bawah hujan, seekor ayam bersembunyi di kolong warung. Semua tampak biasa, tapi hari itu semua menjadi puisi.
Lagu yang sering dianggap remeh itu tiba-tiba berubah menjadi cermin kejujuran sosial. Ia bukan datang dari langit, tapi dari tanah — dari kehidupan yang penuh perjuangan dan kadang putus asa.
Bus terus berjalan pelan. Lampu-lampu toko mulai menyala. Di antara remang cahaya, aku merenungi betapa anehnya jalan hidup ini: kadang, kesadaran datang bukan dari khutbah di mimbar, tapi dari pengeras suara di bus muram yang menembus hujan.
Lagu Oplosan menjadi “lagu religi” dalam makna yang paling manusiawi — bukan karena menyebut nama Tuhan, tapi karena mengingatkan manusia untuk menjaga diri, menghargai hidup, dan berhenti menyakiti tubuhnya sendiri.
Di luar sana, banyak orang menilai lagu dangdut sebagai hiburan rendah, milik kalangan bawah. Tapi justru di sanalah letak keindahannya. Lagu rakyat seperti Oplosan tidak bicara dengan gaya tinggi, tidak berpetuah seperti guru.
Ia bicara dengan bahasa sehari-hari: “Opo ora eman duite?” — kalimat yang bisa keluar dari mulut ibu di dapur, dari teman di pos ronda, dari sopir yang duduk di warung kopi. Dan justru karena itu, pesannya sampai ke hati.
Aku menyadari bahwa kadang kesucian tidak datang dari tempat yang suci, melainkan dari ketulusan yang lahir di tempat sederhana.
Bus yang reyot itu, dengan bangku berderit dan musik koplo yang mendayu, tiba-tiba menjadi semacam ruang renungan.
Aku bukan sedang di jalan raya; aku sedang berada di tengah perjalanan batin, dibimbing oleh lagu yang awalnya kuanggap hiburan semata.
Air mataku bukan tanda sedih, tapi semacam penerimaan. Penerimaan bahwa hidup ini tidak pernah sepenuhnya bersih. Bahwa di antara dosa dan upaya bertahan hidup, manusia terus mencari arah pulang.
Lagu Oplosan tidak menggurui; ia hanya mengingatkan bahwa hidup ini sayang kalau dihabiskan dengan cara yang salah. Bahwa tubuh dan nyawa — betapapun murah nilainya di mata dunia — tetap sesuatu yang harus dijaga.
Hujan belum juga reda ketika bus mendekati Banjarnegara. Lagu diulang lagi. Kali ini, suaranya terasa lebih pelan, seperti nyanyian perpisahan. Aku memandangi wajah-wajah penumpang lain. Ada kelelahan di sana, tapi juga ketenangan.
Mungkin mereka juga mendengarkan, mungkin tidak. Tapi aku tahu, dalam setiap perjalanan seperti ini, ada semacam keheningan yang menyatukan semua manusia di dalam bus, keheningan yang membuat kita merasa seolah sedang menuju tempat yang sama, entah itu terminal, rumah, atau kesadaran baru.
Aku menatap keluar. Air hujan mengalir di kaca, memantulkan cahaya lampu jalan yang bergetar. Di luar, dunia tampak kabur. Di dalam, aku merasa jernih. Lagu Oplosan berakhir, tapi gema pesannya masih tertinggal di dada. Aku teringat baris terakhirnya:
“Yo cepet marenono mendemmu, ben dowo umurmu.”
Segera hentikan mabukmu, agar panjang umurmu.
Baris itu terasa seperti doa-doa yang lahir dari rakyat untuk rakyat, bukan dari orang suci untuk orang berdosa. Boleh jadi, dalam arti paling sederhana, itulah bentuk religiusitas yang paling tulus: kesadaran untuk hidup lebih baik, datang dari tempat yang paling rendah, tapi menyentuh paling dalam.
Ketika bus berhenti dan hujan mulai reda, aku turun pelan-pelan. Jalanan basah, udara dingin, dan di kejauhan, sopir masih bersiul kecil mengikuti lagu yang baru saja selesai.
Aku melangkah sambil tersenyum, karena aku tahu, perjalanan sore itu telah memberiku sesuatu yang tak akan bisa kubeli: sepotong kesadaran, lahir dari lagu koplo yang sederhana, di tengah bus antarkota yang berguncang pelan di bawah hujan.***
*Ifat
Tulisan lainnya bisa dicek di Wonosobo Media

